Laman

Selasa, 28 September 2010

Kisah Rabi'ah al-Adawiyah

Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah tergolong wanita sufi yang terkenaldalam sejarah Islam. Dia dilahirkan sekitar awal kurun kedua Hijrahdekat kota Basrah di Irak. Dia lahir di sebuah keluarga yang miskindari segi materi namun kaya dengan peribadatan kepada Allah. Ayahnyapula hanya bekerja mengangkut penumpang menyeberangi Sungai Dijlahdengan menggunakan sampan.


Pada akhir abad pertama Hijrah, keadaan hidup masyarakat Islam dalampemerintahan Bani Umaiyah yang sebelumnya terkenal dengan ketaqwaantelah mulai berubah. Pergaulan semakin bebas dan orang ramaiberlomba-lomba mencari kekayaan. Justru itu kejahatan dan maksiattersebar luas. Pekerjaan menyanyi, menari dan berhibur semakindiagung-agungkan. Maka ketajaman iman mulai tumpul dan zaman hidup wara'serta zuhud hampir lenyap sama sekali.

Namun begitu, Allah telah memelihara sejumlah kaum Muslimin agar tidakterjerumus ke dalam fitnah tersebut. Pada saat itulah muncul satugerakan baru yang dinamakan Tasawuf Islami yang dipimpin oleh Hasanal-Bashri. Pengikutnya terdiri dari pria dan wanita. Merekamenghabiskan waktu dan tenaga untuk mendidik jiwa dan rohani mengatasisegala tuntutan udara nafu demi mendekatkan diri kepada Allah sebagaihamba yang benar-benar taat.

Bapa Rabi'ah merupakan hamba yang sangat bertaqwa, tersingkir darikemewahan dunia dan tidak pernah letih bersyukur kepada Allah. Diamendidik anak perempuannya menjadi muslimah yang berjiwa bersih.Pendidikan yang diberikannya bersumberkan al-Quran semata-mata.Natijahnya Rabi'ah sendiri begitu gemar membaca dan menghayati isial-Quran sehigga berhasil menghafal konten al-Quran. Sejak kecil lagiRabi'ah sememangnya berjiwa halus, mempunyai keyakinan yang tinggiserta keimanan yang mendalam.

Menjelang kedewasaannya, kehidupannya menjadi serba sempit. Keadaan itusemakin buruk setelah beliau ditinggalkan ayah dan ibunya. Rabi'ah jugatidak bebas dari ujian yang bertujuan membuktikan keteguhan iman. Adariwayat yang mengatakan beliau telah terjebak dalam kancah maksiat.Namun dengan limpah hidayah Allah, dengan dasar keimanan yang belumpadam di hatinya, dia dipermudahkan oleh Allah untuk kembali bertaubat.Babak-babak taubat inilah yang mungkin dapat menyedar serta mendoronghati kita merasai cara yang sepatutnya seorang hamba brgantung harap kebelas ihsan Tuhannya.

Marilah kita teliti ucapan Rabi'ah sewaktu kesunyian di ketenangan malam ketika bermunajat kepada Allah:

"Ya Allah, ya Tuhanku. Aku berlindung diri kepada Engkau dari segalayang ada yang dapat memalingkan diri dari-Mu, dari segala Pendindingyang dapat mendinding antara aku dengan Engkau!

"Tuhanku! bintang-bintang telah menjelma indah, mata telah tidurnyenyak, semua pemilik telah menutup pintunya dan inilah dudukku dihadapan-Mu.

"Tuhanku! Tidak ada kudengar suara binatang yang mengaum, tiada desiranpohon yang bergeser, tiada desiran air yang mengalir, tiada siulanburung yang menyanyi, tiada nikmatnya teduhan yang melindungi, tiadatiupan angin yang nyaman, tiada dentuman guruh yang menakutkanmelainkan aku dapati semua itu menjadi bukti keesaan -Mu danmenunjukkan tiada sesuatu yang menyamai-Mu.

"Sekelian manusia telah tidur dan semua orang telah lalai dengan asyikmaksyuknya. Yang tinggal hanya Rabi'ah yang banyak kesalahan dihadapan-Mu. Maka moga-moga Engkau berikan suatu pandangan kepadanyayang akan menahannya dari tidur supaya dia dapat melayani-Mu. "

Rabi'ah juga pernah meraung memohon belas ihsan Allah SWT:

"Tuhanku! Engkau akan mendekatkan orang yang dekat di dalam kesunyiankepada keagungan-Mu. Semua ikan di laut bertasbih di dalam lautan yangmendalam dan karena kebesaran kesucian-Mu, ombak di laut bertepukan.Engkaulah Tuhan yang sujud kepada-Nya malam yang gelap, siang yangterang, falak yang bulat, bulan yang bercahaya, bintang yangberkerdipan dan setiap sesuatu di sisi-Mu dengan takdir sebab EngkaulahTuhan Yang Maha Tinggi lagi Maha Perkasa. "

Setiap malam begitulah keadaan Rabi'ah. Apabila fajar menyinsing, Rabi'ah terus juga bermunajat dengan ungkapan seperti:

"Wahai Tuhanku! Malam yang akan pergi dan siang pula akan mengganti.Wahai malangnya diri! Apakah Engkau akan menerima malamku ini supayaaku merasa bahagia ataupun Engkau akan menolaknya maka aku diberikantakziah? Demi kemuliaan-Mu, jadikanlah caraku ini kekal selama Engkaumenghidupkan aku dan bantulah aku di atasnya. Demi kemuliaan-Mu, jikaEngkau menghalauku dari pintu-Mu itu, niscaya aku akan tetap tidakbergerak juga dari situ disebabkan hatiku sangat cinta kepada-Mu. "

Seperkara menarik tentang diri Rabi'ah ialah dia menolak lamaran untuk menikah dengan alasan:

"Pernikahan itu memang perlu bagi siapa yang memiliki pilihan. Adapunaku tiada mempunyai pilihan untuk diriku. Aku adalah milik Tuhanku dandi bawah perintah-Nya. Aku tidak memiliki apa-apa pun. "

Rabi'ah seolah-olah tidak mengenali yang lain dari Allah. Oleh itu diaterus-menerus mencintai Allah semata-mata. Dia tidak mempunyai tujuanlain kecuali untuk mencapai keridhaan Allah. Rabi'ah telahmempertalikan akalnya, pemikirannya dan perasaannya hanya kepadaakhirat semata-mata. Dia selalu meletakkan kain kapannya di hadapannyadan sentiasa membelek-beleknya setiap hari.

Selama 30 tahun dia terus-menerus mengulangi kata-kata ini dalam salatnya:

"Ya Tuhanku! Tenggelamkanlah aku di dalam kecintaan-Mu supaya tiada suatupun yang dapat memalingkan aku dari-Mu. "

Antara syairnya yang masyhur berbunyi:

"Kekasihku tiada menyamai kekasih lain biar bagaimanapun,
Tidak ada selain Dia di dalam hatiku mempunyai tempat manapun,
Kekasihku ghaib dari penglihatanku dan peribadiku sekalipun,
Akan tetapi Dia tidak pernah ghaib di dalam hatiku walau sedetik pun. "

Rabi'ah telah membentuk satu cara yang luar biasa di dalam mencintaiAllah. Dia menjadikan kecintaan pada Ilahi itu sebagai satu cara untukmembersihkan hati dan jiwa. Dia memulai paham sufinya dengan menanamkanrasa takut kepada kemurkaan Allah seperti yang pernah diluahkannya:

"Wahai Tuhanku! Apakah Engkau akan membakar dengan api hati yangmencintai-Mu dan lisan yang menyebut-Mu dan hamba yang takut kepada-Mu?"

Kecintaan Rabi'ah kepada Allah berjaya melewati pengharapan untuk beroleh syurga Allah semata-mata.

"Jika aku menyembah-Mu karena takut dari api neraka-Mu maka bakarlahaku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepada surga-Mumaka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika aku menyembah-Mu karenakecintaanku kepada-Mu maka berikanlah aku balasan yang besar, berilahaku melihat wajah-Mu yang Maha Besar dan Maha Mulia itu. "

Begitulah keadaan kehidupan Rabi'ah yang ditakdirkan Allah untuk diuji dengan keimanan serta kecintaan kepada-Nya.

Sekarang mari kita tinjau diri sendiri pula. Apakah kita menyadari satuhakikat yang disebut oleh Allah di dalam Surah Ali Imran, ayat 142 yangartinya:

"Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga padahal belum nyatabagi Allah orang yang berjihad di antaramu dan belum nyata orang yangsabar."

Bagaimana perasaan kita apabila insan yang kita kasihi menyinggungperasaan kita? Apakah kita terus berkecil hati dan meletakkan kesalahankepada insan berkenaan? Tidak terlintaskah untuk merasakan di dalamhati seumpama ini:

"Ya Allah! Ampunilah aku. Sesungguhnya hanya Engkau yang Maha Pengasihlagi Maha Penyayang. Hanya kasih-Mu yang abadi dan hanya hidup disisi-Mu saja yang abadi. Selamatkanlah aku dari tipu daya yangmengasyikkan. "

Sesungguhnya apa juga lintasan hati dan luahan rasa yang tercetusdaripada kita bergantung kepada cara hati kita berhubung dengan Allah.Semakin kita kenali keluhuran cinta kepada Allah, maka bertambah eratketergantungan hati kita kepada Allah dan melahirkan keyakinan cintadan kasih yang selalu subur.

Lanjutan itu jiwa kita tidak mudah merasa kecewa dengan gelagat sesamainsan yang beragam ragam. Keadaan begini sebenarnya terlebih dahuluperlu dipupuk dengan melihat serta merenungi alam yang terbentang luasini sebagai anugerah besar dari Allah untuk maslahat kehidupan manusia.Kemudian cobalah hitung betapa banyaknya nikmat Allah kepada kita.

Dengan itu kita akan sadar bahwa kita sebenarnya hanya bergantungkepada Allah. Mulai dari sini kita akan mampu membangun perasaan cintaterhadap Allah yang kemudian harus diperkukuhkan dengan mencintai titahperintah Allah. Mudah-mudahan nanti kita juga akan menjadi perinducinta Allah yang kekal abadi.

Kisah-Kisah Rabi’ah al-Adawiyyah

Pada suatu hari seorang lelaki datang kepada Rabiah dan bertanya, “Sayaini telah banyak melakukan dosa. Maksiat saya bertimbun melebihigunung-gunung. Andaikata saya bertobat, apakah Allah akan menerimatobat saya?” “Tidak,” jawab Rabiah dengan suara tegas. Pada kali yanglain seorang lelaki datang pula kepadanya. Lelaki itu berkata,“Seandainya tiap butir pasir itu adalah dosa, maka seluas gurunlahtebaran dosa saya. Maksiat apa saja telah saya lakukan, baik yang kecilmaupun yang besar. Tetapi sekarang saya sudah menjalani tobat. ApakahTuhan menerima tobat saya?” “Pasti,” jawab Rabiah tak kalah tegas. Laluia menjelaskan, “Kalau Tuhan tidak berkenan menerima tobat seoranghamba, apakah mungkin hamba itu tergerak menjalani tobat? Untukberhenti dari dosa, jangan simpan kata “akan” atau “andaikata” sebabhal itu akan merusak ketulusan niatmu.”

Memang ucapan sufi perempuan itu seringkali menyakitkan telinga bagimereka yang tidak memahami jalan pikirannya. Ia seorang mistisi yangsangat tinggi derajatnya dan tergolong kelompok sufi periode awal. Iamemperkaya literatur Islam dengan kisah-kisah pengalaman mistiknyadalam sajak-sajak berkualitas tinggi.

Sesungguhnya ia lebih dikenal sebagai seorang pendiri ‘agama cinta’(mahabbah) dan ia pun dikenang sebagai ‘ibu para Sufi besar’ (TheMother of the Grand Master). Siapa sebenarnya ia yang kepergiannyadielu-elukan kaum ‘suci’ itu? Tiada lain ia adalah tokoh wanita bernamaRabiah Basri atau lebih dikenal sebagai Rabiah Al Adawiyah AlBashriyah, lahir pada tahun 713 M di Basrah (Irak), dari keluarga yanghina dina.

Sebagai anak keempat. Itu sebabnya ia diberi nama Rabiah. Bayi itudilahirkan ketika orang tuanya hidup sangat sengsara meskipun waktu itukota Bashrah bergelimang dengan kekayaan dan kemewahan. Tidak seorangpun yang berada di samping ibunya, apalagi menolongnya, karena ayahnya,Ismail, tengah berusaha meminta bantuan kepada para tetangganya.

Namun, karena saat itu sudah jauh malam, tidak seorang pun dari merekayang terjaga. Dengan lunglai Ismail pulang tanpa hasil, padahal iahanya ingin meminjam lampu atau minyak tanah untuk menerangi istrinyayang akan melahirkan. Dengan perasaan putus asa Ismail masuk ke dalambiliknya. Tiba-tiba matanya terbelak gembira menyaksikan apa yangterjadi di bilik itu.

Seberkas cahaya memancar dari bayi yang baru saja dilahirkan tanpabantuan siapa-siapa. “Ya Allah,” seru Ismail, “anakku, Rabiah, telahdatang membawa sinar yang akan menerangi alam di sekitarnya.” LaluIsmail menggumam, “Amin.” Tetapi berkas cahaya yang membungkus bayikecil itu tidak membuat keluarganya terlepas dari belitan kemiskinan.Ismail tetap tidak punya apa-apa kecuali tiga kerat roti untuk istrinyayang masih lemah itu. Ia lantas bersujud dalam salat tahajud yangpanjang, menyerahkan nasib dirinya dan seluruh keluarganya kepada YangMenciptakan Kehidupan.

Sekonyong-konyong ia seolah berada dalam lautan mimpi manakala gumpalancahaya yang lebih benderang muncul di depannya, dan setelah itu Rasulhadir bagaikan masih segar-bugar. Kepada Ismail, Rasulullah bersabda,“Jangan bersedih, orang salih. Anakmu kelak akan dicari syafaatnya olehorang-orang mulia. Pergilah kamu kepada penguasa kota Bashrah, dankatakan kepadanya bahwa pada malam Jumat yang lalu ia tidak melakukansalat sunnah seperti biasanya. Katakan, sebagai kifarat ataskelalaiannya itu, ia harus membayar satu dinar untuk satu rakaat yangditinggalkannya.

Ketika Ismail mengerjakan seperti yang diperintahkan Rasulullah dalammimpinya, Isa Zadan, penguasa kota Bashrah itu, terperanjat. Ia memangbiasa mengerjakan salat sunnah 100 rakaat tiap malam, sedangkan sabanmalam Jumat ia selalu mengerjakan 400 rakaat. Oleh karena itu, kepadaIsmail diserahkannya uang sebanyak 400 dinar sesuai dengan jumlahrakaat yang ditinggalkannya pada malam Jumat yang silam. Itulahsebagian dari tanda-tanda karamah Rabiah al-Adawiyah, seorang sufiperempuan dari kota Bashrah, yang di hatinya hanya tersedia cintakepada Tuhan. Begitu agungnya cinta itu bertaut antara hamba danpenciptanya sampai ia tidak punya waktu untuk membenci atau mencintai,untuk berduka atau bersuka cita selain dengan Allah.

Ismail dan istrinya meninggal ketika Rabiah masih kecil. Begitu pulaketiga kakak Rabiah, meninggal ketika wabah kelaparan melanda kotaBasrah. Dalam kesendirian itu, akhirnya Rabiah jatuh ke tangan orangyang kejam, yang lalu menjualnya sebagai budak belian dengan hargasangat murah. Majikan barunya pun tak kalah bengisnya dibandingkandengan majikan sebelumnya.

Setelah bebas, Rabiah pergi ke tempat tempat sunyi untuk menjalanihidup dengan bermeditasi, dan akhirnya sampailah ia di sebuah gubukdekat Basra. Di sini ia hidup bertapa. Sebuah tikar butut, sebuahkendil dari tanah, dan sebuah batu bata, adalah harta yang ia punyaidan teman dalam menjalani hidup kepertapaan.

Praktis sejak saat itu, seluruh hidupnya hanya ia abdikan pada Allahswt. Berdoa dan berzikir adalah hiasan hidupnya. Saking sibuknyamengurus ‘akhirat’, ia lalai dengan urusan duniawi, termasuk membangunrumah tangga. Meski banyak pinangan datang, termasuk dari gubernurBasra dan seorang suci mistis terkenal, Hasan Basri, Rabiah tetap taktertarik untuk mengakhiri masa lajangnya. Hal ini ia jalani hinggaakhir hayatnya, pada tahun 801 M.

Dalam perjalanan kesufian Rabiah, kesendirian, kesunyian, kesakitan,hingga penderitaan tampak lumer jadi satu; ritme heroik menuju cintakepada Sang Ada (The Ultimate Being). Tak heran jika ia ‘merendahkanmanusia’ dan mengabdi pada dorongan untuk meraih kesempurnaantertinggi. Ia jelajahi ranah mistik, yang jadi wilayah dalam dariagama, hingga mendapatkan eloknya cinta yang tidak dialami oleh kaumMuslim formal.

Menjadi Sufi dalam perjalanan Rabiah adalah “berlalu dari sekadar Adamenjadi benar benar Ada”. Sufisme Rabiah merupakan pilihan darijebakan-jebakan ciptaan yang tak berguna. Karena demikian mendalamcintanya kepada Allah, Rabiah sampai tidak menyisakan sejengkal punrasa cintanya untuk manusia. Sufyan Tsauri, seorang Sufi yang hidupsemasa dengannya, sempat terheran-heran dengan sikap Rabiah. Pasalnya,Sufyan pernah melihat bagaimana Rabiah menolak cinta seorang pangeranyang kaya raya demi cintanya kepada Allah. Dia tidak tergoda dengankenikmatan duniawi, apalagi harta.

Cinta Rabiah tak dapat disebut sebagai cinta yang mengharap balasan.Justru, yang dia tempuh adalah perjalanan mencapai ketulusan. Sesuatuyang dianggap sebagai ladang subur bagi pemuas rasa cintanya yang luas,dan sering tak terkendali tersebut. Lewat sebuah doa yang mirip syair,ia berujar, “Jika aku menyembah-Mu karena takut pada api neraka makamasukkan aku di dalamnya! Dan jika aku menyembah-Mu karena tamak kepadasurga-Mu, maka haramkanlah aku daripadanya! Tetapi jika akumenyembah-Mu karena kecintaanku kepada-Mu, maka berikanlah aku balasanyang besar, berilah aku kesempatan untuk melihat wajah-Mu yang MahaBesar dan Maha Mulia itu.”

Perjalanan hidup Rabiah diwarnai dengan kekaribannya dengan situasiyang penuh keterbatasan; tinggal bersama kedua orang tua dan saudarasaudaranya, dijual sebagai budak, menghamba pada tuannya hinggadibebaskan dari perbudakan, lalu hidup mengembara. Periode pertama inidikenal sebagai periode asketik Rabiah.

Fariduddin al-Attar menceritakan dalam kitab Taz-kiratul Auliya bahwaRabiah pandai sekali meniup seruling. Untuk jangka waktu tertentu iamenopang hidupnya dengan bermain musik. Namun, kemudian ia memanfaatkankepandaiannya untuk mengiringi para sufi yang sedang berzikir dalamupayanya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Selain itu ia mengunjungimasjid-masjid, dari pagi sampai larut malam. Namun, lantaran ia merasadengan cara itu Tuhan tidak makin menghampirinya, maka ditinggalkannyasemua itu.

Ia tidak lagi meniup seruling, dan ia tidak lagi mendatangimasjid-masjid. Ia menghabiskan waktu dengan beribadah dan berzikir.Periode yang kedua ini disebut sebagai periode Sufi, suatu periodetatkala Rabiah telah mencapai mahabbattullah (cinta pada Allah) sampaimeninggal dan dipuji sebagai Testimony of Belief (Bukti Keimanan).

Doris Lessing, seorang pengamat perjalanan hidup Rabiah, memberikesimpulan bahwa sufisme tokoh wanita ini adalah bentuk sufisme cinta.Sejenis sufisme yang menempatkan cinta (mahabbah) sebagai panggilanjiwanya. Sufisme yang tak bermaksud larut dalam ekstatik (gairah yangmeluap) serta tak berdimensi pemujaan atau pemuliaan dan metode-metodetambahan yang penuh dengan sakramen.

Kendati demikian, pengalaman Rabiah adalah pengalaman orang suci yangsulit ditiru oleh awam. Memahami Rabiah sangat sulit. Seperti masahidupnya, Rabiah tampaknya jauh dari kita. Selain itu, kesempurnaanyang menyertainya tak mungkin dapat ditandingi oleh orang-orang biasa.

Apa yang dilakukan Rabiah dalam hidupnya sebetulnya adalah ikhtiaruntuk membiasakan diri ‘bertemu’ dengan pencipta-Nya. Di situlah iamemperoleh kehangatan, kesyahduan, kepastian, dan kesejatian hidup.Sesuatu yang kini sangat dirindukan oleh manusia modern. Karena itu,menjadi pemuja Tuhan adalah obsesi Rabiah yang tidak pernah mengenaltepi dan batas. Tak heran jika dunia yang digaulinya bebas dariperasaan benci. Seluruhnya telah diberikan untuk sebuah cinta.

Menarik kita simak beberapa doa Rabiah yang dipanjatkan pada waktularut malam, di atas atap rumahnya: “O Tuhanku, bintang-bintangbersinar gemerlapan, manusia telah tidur nyenyak, dan raja-raja telahmenutup pintunya, tiap orang yang bercinta sedang asyik masyuk dengankesayangannya, dan di sinilah aku sendirian bersama Engkau.”

Jika fajar telah merekah dan serat-serat cahaya menebari cakrawala,Rabiah pun berdoa dengan khusyuk, “Ya, illahi. Malam telah berlalu, dansiang menjelang datang. Aduhai, seandainya malam tidak pernah berakhir,alangkah bahagianya hatiku sebab aku dapat selalu bermesra-mesradengan-Mu. illahi, demi kemuliaan-Mu, walaupun Kautolak aku mengetukpintu-Mu, aku akan senantiasa menanti di depan pintu karena cintakutelah terikat dengan-Mu.”

Lantas, jika Rabiah membuka jendela kamarnya, dan alam lepas terbentangdi depan matanya, ia pun segera berbisik, “Tuhanku. Ketika kudengarmargasatwa berkicau dan burung-burung mengepakkan sayapnya, padahakikatnya mereka sedang memuji-Mu. Pada waktu kudengar desauan angindan gemericik air di pegunungan, bahkan manakala guntur menggelegar,semuanya kulihat sedang menjadi saksi atas keesaan-Mu.

Tentang masa depannya ia pernah ditanya oleh Sufyan Tsauri: “Apakahengkau akan menikah kelak?” Rabiah mengelak, “Pernikahan merupakankewajiban bagi mereka yang mempunyai pilihan. Padahal aku tidakmempunyai pilihan kecuali mengabdi kepada Allah.” “Bagaimanakahjalannya sampai engkau mencapai martabat itu?” “Karena telah kuberikanseluruh hidupku,” ujar Rabiah. “Mengapa bisa kaulakukan itu, sedangkankami tidak?” Dengan tulus Rabiah menjawab, “Sebab aku tidak mampumenciptakan keserasian antara perkawinan dan cinta kepada Tuhan.”


Ada suatu cerita ketika Rabiah al-Adawiyah makan bersama dengankeluarganya. Sebelum menyantap hidangan makanan yang tersedia, Rabi’ahmemandang ayahnya seraya berkata, “Ayah, yang haram selamanya tak akanmenjadi halal. Apalagi karena ayah merasa berkewajiban memberi nafkahkepada kami.” Ayah dan ibunya terperanjat mendengar kata-kata Rabi’ah.Makanan yang sudah di mulut akhirnya tak jadi dimakan. Ia pandangRabi’ah dengan pancaran sinar mata yang lembut, penuh kasih. Sambiltersenyum, si ayah lalu berkata, “Rabi’ah, bagaimana pendapatmu, jikatidak ada lagi yang bisa kita peroleh kecuali barang yang haram?”Rabi’ah menjawab: “Biar saja kita menahan lapar di dunia, ini lebihbaik daripada kita menahannya kelak di akhirat dalam api neraka.”Ayahnya tentu saja sangat heran mendengar jawaban Rabi’ah, karenajawaban seperti itu hanya didengarnya di majelis-majelis yang dihadirioleh para sufi atau orang-orang saleh. Tidak terpikir oleh ayahnya,bahwa Rabi’ah yang masih muda itu telah memperlihatkan kematanganpikiran dan memiliki akhlak yang tinggi (Abdul Mu’in Qandil).

Penggalan kisah di atas sebenarnya hanya sebagian saja dari kemuliaanakhlak Rabi’ah al-Adawiyah, seorang sufi wanita yang nama danajaran-ajarannya telah memberi inspirasi bagi para pecinta Ilahi.Rabi’ah adalah seorang sufi legendaries. Sejarah hidupnya banyakdiungkap oleh berbagai kalangan, baik di dunia sufi maupun akademisi.Rabi’ah adalah sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta)Ilahi, sebuah jenjang (maqam) atau tingkatan yang dilalui oleh seorangsalik (penempuh jalan Ilahi). Selain Rabi’ah al-Adawiyah, sufi lainyang memperkenalkan ajaran mahabbah adalah Maulana Jalaluddin Rumi,sufi penyair yang lahir di Persia tahun 604 H/1207 M dan wafat tahun672 H/1273 M. Jalaluddin Rumi banyak mengenalkan konsep Mahabbahmelalui syai’ir-sya’irnya, terutama dalam Matsnawi dan Diwan-i Syam-ITabriz.


Sepanjang sejarahnya, konsep Cinta Ilahi (Mahabbatullah) yangdiperkenalkan Rabi’ah ini telah banyak dibahas oleh berbagai kalangan.Sebab, konsep dan ajaran Cinta Rabi’ah memiliki makna dan hakikat yangterdalam dari sekadar Cinta itu sendiri. Bahkan, menurut kaum sufi,Mahabbatullah tak lain adalah sebuah maqam (stasiun, atau jenjang yangharus dilalui oleh para penempuh jalan Ilahi untuk mencapai ridla Allahdalam beribadah) bahkan puncak dari semua maqam. Hujjatul Islam Imamal-Ghazali misalnya mengatakan, “Setelah Mahabbatullah, tidak ada lagimaqam, kecuali hanya merupakan buah dari padanya serta mengikutidarinya, seperti rindu (syauq), intim (uns), dan kepuasan hati(ridla)”.

Rabi’ah telah mencapai puncak dari maqam itu, yakni Mahabbahtullah.Untuk menjelaskan bagaimana Cinta Rabi’ah kepada Allah, tampaknya agaksulit untuk didefinisikan dengan kata-kata. Dengan kata lain, CintaIlahi bukanlah hal yang dapat dielaborasi secara pasti, baik melaluikata-kata maupun simbol-simbol. Para sufi sendiri berbeda-beda pendapatuntuk mendefinisikan Cinta Ilahi ini. Sebab, pendefinisian Cinta Ilahilebih didasarkan kepada perbedaan pengalaman spiritual yang dialamioleh para sufi dalam menempuh perjalanan ruhaninya kepada Sang Khalik.Cinta Rabi’ah adalah Cinta spiritual (Cinta qudus), bukan Cinta al-hubbal-hawa (cinta nafsu) atau Cinta yang lain. Ibnu Qayyim al-Jauziyah(691-751 H) membagi Cinta menjadi empat bagian.

Pertama, mencintai Allah. Dengan mencintai Allah seseorang belum tentuselamat dari azab Allah, atau mendapatkan pahala-Nya, karenaorang-orang musyrik, penyembah salib, Yahudi, dan lain-lain jugamencintai Allah.
Kedua, mencintai apa-apa yang dicintai Allah. Cinta inilah yang dapatmenggolongkan orang yang telah masuk Islam dan mengeluarkannya darikekafiran. Manusia yang paling Cintai adalah yang paling kuat dengancinta ini.
Ketiga, Cinta untuk Allah dan kepada Allah. Cinta ini termasuk perkembangan dari mencintai apa-apa yang dicintai Allah.
Keempat, Cinta bersama Allah. Cinta jenis ini syirik. Setiap orangmencintai sesuatu bersama Allah dan bukan untuk Allah, makasesungguhnya dia telah menjadikan sesuatu selain Allah. Inilah cintaorang-orang musyrik.

Pokok ibadah, menurut Ibnu Qayyim, adalah Cinta kepada Allah, bahkanmengkhususkan hanya Cinta kepada Allah semata. Jadi, hendaklah semuaCinta itu hanya kepada Allah, tidak mencintai yang lain bersamaanmencintai-Nya. Ia mencintai sesuatu itu hanyalah karena Allah danberada di jalan Allah.

Cinta sejati adalah bilamana seluruh dirimu akan kau serahkan untukmuKekasih (Allah), hingga tidak tersisa sama sekali untukmu (lantaranseluruhnya sudah engkau berikan kepada Allah) dan hendaklah engkaucemburu (ghirah), bila ada orang yang mencintai Kekasihmu melebihiCintamu kepada-Nya. Sebuah sya’ir mengatakan:

Aku cemburu kepada-Nya,
Karena aku Cinta kepada-Nya,
Setelah itu aku teringat akan kadar Cintaku,
Akhirnya aku dapat mengendalikan cemburuku

Oleh karena itu, setiap Cinta yang bukan karena Allah adalah bathil.Dan setiap amalan yang tidak dimaksudkan karena Allah adalah bathilpula. Maka dunia itu terkutuk dan apa yang ada di dalamnya jugaterkutuk, kecuali untuk Allah dan Rasul-Nya

Rabi’ah berarti empat, karena dia adalah anak keempat dari empatsaudara. Semuanya perempuan. Pernah suatu ketika ayahnya berdoa agar iadikaruniai anak laki-laki. hal ini disebabkan karena keluarga Rabi’ahbukanlah termasuk keluarga yang serba kekurangan dan penuh penderitaan.Apalagi dengan kelahiran seorang perempuan Rabi’ah, beban penderitaanayahnya pun dirasakan semakin bertambah berat, sehingga bila kelakdikaruniai anak laki-laki, diharapkan beban penderitaan itu akanberkurang karena anak laki-laki bisa melindungi seluruh keluarganya.Atau paling tidak bisa membantu ayahnya untuk mencari penghidupan.

Semasa hidupnya ayah Rabi’ah selalu hidup zuhud dan penuh kesalehan.Begitu pun Rabi’ah, yang meskipun sejak kecil hingga dewasanya hidupserba kekurangan, namun ia sama sekali tidak menciutkan hatinya untukterus beribadah kepada Allah. Sebaliknya, kepapaan keluarganya iajadikan sebagai kunci untuk memasuki dunia sufi, yang kemudianmelegendakan namanya sebagai salah seorang martir sufi wanita di antaraderetan sejarah para sufi.

Rabi’ah memang tidak mewarisi karya-karya sufistik, termasuksya’ir-sya’ir Cinta Ilahinya yang kerap ia senandungkan. Namun begitu,Sya’ir-sya’ir sufistiknya justru banyak dikutip oleh para penulisbiografi Rabi’ah, antara lain J. Shibt Ibnul Jauzi (w. 1257 M) dengankaryanya Mir’at az-Zaman (Cermin Abad Ini), Ibnu Khallikan (w. 1282 M)dengan karyanya Wafayatul A’yan (Obituari Para Orang Besar), Yafi’Iasy-Syafi’i (w. 1367 M) dengan karyanya Raudl ar-Riyahin fi Hikayatash-Shalihin (Kebun Semerbak dalam Kehidupan Para Orang Saleh), danFariduddin Aththar (w. 1230 M) dengan karyanya Tadzkirat al-Auliya’(Memoar Para Wali).

Dari sekian banyak penulis biografi Rabi’ah, Tadzkirat al-Awliya’ karyaFariduddin Aththar tampaknya dianggap sebagai buku biografi yang palingmendekati kehidupan Rabi’ah, terutama ketika awal-awal Rabi’ah akanlahir di tengah keluarga yang sangat miskin itu (tapi ada yangmenyebutkan bahwa keluarga Rabi’ah sebenarnya termasuk keturunanbangsawan). Riwayat Aththar, yang dikutip Margaret Smith dalam bukunyaRabi’a the Mystic & Her Fellow-Saints in Islam (sebuah disertasi,terbitan Cambridge University Press, London, 192cool, antara lain banyakmengungkap sisi-sisi kehidupan Rabi’ah sejak kecil hingga dewasanya.

Aththar menceritakan mengenai nasib malang yang menimpa keluargaRabi’ah. Saat Rabi’ah menginjak dewasa, ayah dan ibunya kemudianmeninggal dunia. Jadilah kini ia sebagai anak yatim piatu. PenderitaanRabi’ah terus bertambah, terutama setelah kota Basrah dilanda kelaparanhebat. Rabi’ah dan suadara-saudaranya terpaksa harus berpencar,sehingga ia harus menanggung beban penderitaan itu sendirian.

Suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan di kota Basrah, ia berjumpadengan seorang laki-laki yang memiliki niat buruk. Laki-laki itu lalumenarik Rabi’ah dan menjualnya sebagai seorang budak seharga enamdirham kepada seorang laki-laki. Dalam statusnya sebagai budak, Rabi’ahbenar-benar diperlakukan kurang manusiawi. Siang malam tenaga Rabi’ahdiperas tanpa mengenal istirahat. Suatu ketika, ada seorang laki-lakiasing yang datang dan melihat Rabi’ah tanpa mengenakan cadar. Ketikalaki-laki itu mendekatinya, Rabi’ah lalu meronta dan kemudian jatuhterpeleset. Mukanya tersungkur di pasir panas dan berkata: “Ya Allah,aku adalah seorang musafir tanpa ayah dan ibu, seorang yatim piatu danseorang budak. Aku telah terjatuh dan terluka, meskipun demikian akutidak bersedih hati oleh kejadian ini, hanya aku ingin sekali ridla-Mu.Aku ingin sekali mengetahui apakah Engkau Ridla terhadapku atau tidak.”Setelah itu, ia mendengar suara yang mengatakan, “Janganlah bersedih,sebab pada saat Hari Perhitungan nanti derajatmu akan sama denganorang-orang yang terdekat dengan Allah di dalam surga.”

Setelah itu, Rabi’ah kembali pulang pada tuannya dan tetap menjalankanibadah puasa sambil melakukan pekerjaannya sehari-hari. Konon, dalammenjalankan ibadah itu, ia sanggup berdiri di atas kakinya hingga sianghari.

Pada suatu malam, tuannya sempat terbangun dari tidurnya dan darijendela kamarnya ia melihat Rabi’ah sedang sujud beribadah. Dalamshalatnya Rabi’ah berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku, Engkau-lah Yang MahaMengetahui keinginan dalam hatiku untuk selalu menurutiperintah-perintah-Mu. Jika persoalannya hanyalah terletak padaku, makaaku tidak akan henti-hentinya barang satu jam pun untuk beribadahkepada-Mu, ya Allah. Karena Engkau-lah yang telah menciptakanku.”Tatkala Rabi’ah masih khusyuk beribadah, tuannya tampak melihat adasebuah lentera yang tergantung di atas kepala Rabi’ah tanpa ada sehelaitali pun yang mengikatnya. Lentera yang menyinari seluruh rumah itumerupakan cahaya “sakinah” (diambil dari bahasa Hebrew “Shekina”,artinya cahaya Rahmat Tuhan) dari seorang Muslimah suci.

Melihat peristiwa aneh yang terjadi pada budaknya itu, majikan Rabi’ahtentu saja merasa ketakutan. Ia kemudian bangkit dan kembali ke tempattidurnya semula. Sejenak ia tercenung hingga fajar menyingsing. Taklama setelah itu ia memanggil Rabi’ah dan bicara kepadanya denganbaik-baik seraya membebaskan Rabi’ah sebagai budak. Rabi’ah pun pamitanpergi dan meneruskan pengembaraannya di padang pasir yang tandus.

Dalam pengembaraannya Rabi’ah berkeinginan sekali untuk pergi ke Mekkahmenunaikan ibadah haji. Akhirnya, ia berangkat juga dengan ditemaniseekor keledai sebagai pengangkut barang-barangnya. Sayangnya, belumlagi perjalanan ke Mekkah sampai, keledai itu tiba-tiba mati di tengahjalan. Ia kemudian berjumpa dengan serombongan kafilah dan merekamenawarkan kepada Rabi’ah untuk membawakan barang-barang miliknya.Namun, tawaran itu ditolaknya baik-baik dengan alasan tak ingin memintabantuan kepada bukan selain Tuhannya. Ia hanya percaya pada bantuanAllah dan tidak percaya pada makhluk ciptaan-Nya.

Orang-orang itu pun memahami keinginan Rabi’ah, sehingga merekameneruskan perjalanannya. Rabi’ah terdiam dan kemudian menundukkankepalanya sambil berdoa, “Ya Allah, apalagi yang akan Engkau lakukandengan seorang perempuan asing dan lemah ini? Engkau-lah yangmemanggilku ke rumah-Mu (Ka’bah), tetapi di tengah jalan Engkaumengambil keledaiku dan membiarkan aku seorang diri di tengah padangpasir ini.”

Setelah asyik bermunajat, di depan Rabi’ah tampak keledai yang semulamati itu pun hidup kembali. Rabi’ah tentu saja gembira karena bisameneruskan perjalannya ke Mekkah.

Dalam cerita yang berbeda disebutkan, saat Rabi’ah berada di tengahpadang pasir, ia berdoa, “Ya Allah, ya Tuhanku. Hatiku ini merasabingung sekali, ke mana aku harus pergi? Aku hanyalah debu di atas bumiini dan rumah itu (Ka’bah) hanyalah sebuah batu bagiku. Tampakkanlahwajah-Mu di tempat yang mulia ini.” Bgeitu ia berdoa sehingga munculsuara Allah dan langsung masuk ke dalam hatinya tanpa ada jarak, “WahaiRabi’ah, ketika Musa ingin sekali melihat wajah-Ku, Aku hancurkanGunung Sinai dan terpecah menjadi empat puluh potong. Tetaplah beradadi situ dengan Nama-Ku.”

Diceritakan pula, saat Rabi’ah dalam perjalanannya ke Mekkah, tiba-tibadi tengah ia melihat Ka’bah datang menghampiri dirinya. Rabi’ah laluberkata, “Tuhanlah yang aku rindukan, apakah artinya rumah ini bagiku?Aku ingin sekali bertemu dengan-Nya yang mengatakan, ‘Barangsiapa yangmendekati Aku dengan jarak sehasta, maka Aku akan berada sedekat uratnadinya.’ Ka’bah yang aku lihat ini tidak memiliki kekuatan apa punterhadap diriku, kegembiraan apa yang aku dapatkan apabila Ka’bah yangindah ini dihadapkan pada diriku?” Singkat cerita, sekembalinya Rabi’ahdari menunaikan ibadah haji di Mekkah, ia kemudian menetap di Basrahdan mengabdikan seluruh hidupnya untuk beribadah kepada Allah serayamelakukan perbuatan-perbuatan mulia.

Sebagaimana yang banyak ditulis dalam biografi Rabi’ah al-Adawiyah,wanita suci ini sama sekali tidak memikirkan dirinya untuk menikah.Sebab, menurut Rabi’ah, jalan tidak menikah merupakan tindakan yangtepat untuk melakukan pencarian Tuhan tanpa harus dibebani olehurusan-urusan keduniawian. Padahal, tidak sedikit laki-laki yangberupaya untuk mendekati Rabi’ah dan bahkan meminangnya. Di antaranyaadalah Abdul Wahid bin Zayd, seorang sufi yang zuhud dan wara. Ia jugaseorang teolog dan termasuk salah seorang ulama terkemuka di kotaBasrah.

Suatu ketika, Abdul Wahid bin Zayd sempat mencoba meminang Rabi’ah.Tapi lamaran itu ditolaknya dengan mengatakan, “Wahai laki-lakisensual, carilah perempuan sensual lain yang sama dengan mereka. Apakahengkau melihat adanya satu tanda sensual dalam diriku?”

Laki-laki lain yang pernah mengajukan lamaran kepada Rabi’ah adalahMuhammad bin Sulaiman al-Hasyimi, seorang Amir Abbasiyah dari Basrah(w. 172 H). Untuk berusaha mendapatkan Rabi’ah sebagai istrinya,laki-laki itu sanggup memberikan mahar perkawinan sebesar 100 ribudinar dan juga memberitahukan kepada Rabi’ah bahwa ia masih memilikipendapatan sebanyak 10 ribu dinar tiap bulan. Tetapi dijawab olehRabi’ah, ”Aku sungguh tidak merasa senang bahwa engkau akan menjadibudakku dan semua milikmu akan engkau berikan kepadaku, atau engkauakan menarikku dari Allah meskipun hanya untuk beberapa saat.”

Dalam kisah lain disebutkan, ada laki-laki sahabat Rabi’ah bernamaHasan al-Bashri yang juga berniat sama untuk menikahi Rabi’ah. Bahkanpara sahabat sufi lain di kota itu mendesak Rabi’ah untuk menikahdengan sesama sufi pula. Karena desakan itu, Rabi’ah lalu mengatakan,“Baiklah, aku akan menikah dengan seseorang yang paling pintar diantara kalian.” Mereka mengatakan Hasan al-Bashri lah orangnya.”Rabi’ah kemudian mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Jika engkau dapatmenjawab empat pertanyaanku, aku pun akan bersedia menjadi istrimu.”Hasan al-Bashri berkata, “Bertanyalah, dan jika Allah mengizinkanku,aku akan menjawab pertanyaanmu.”

“Pertanyaan pertama,” kata Rabi’ah, “Apakah yang akan dikatakan olehHakim dunia ini saat kematianku nanti, akankah aku mati dalam Islamatau murtad?” Hasan menjawab, “Hanya Allah Yang Maha Mengetahui yangdapat menjawab.”

“Pertanyaan kedua, pada waktu aku dalam kubur nanti, di saat MalaikatMunkar dan Nakir menanyaiku, dapatkah aku menjawabnya?” Hasan menjawab,“Hanya Allah Yang Maha Mengetahui.”

“Pertanyaan ketiga, pada saat manusia dikumpulkan di Padang Mahsyar diHari Perhitungan (Yaumul Hisab) semua nanti akan menerima buku catatanamal di tangan kanan dan di tangan kiri. Bagaimana denganku, akankahaku menerima di tangan kanan atau di tangan kiri?” Hasan kembalimenjawab, “Hanya Allah Yang Maha Tahu.”

“Pertanyaan terakhir, pada saat Hari Perhitungan nanti, sebagianmanusia akan masuk surga dan sebagian lain masuk neraka. Di kelompokmanakah aku akan berada?” Hasan lagi-lagi menjawab seperti jawabansemula bahwa hanya Allah saja Yang Maha Mengetahui semua rahasia yangtersembunyi itu.

Selanjutnya, Rabi’ah mengatakan kepada Hasan al-Bashri, “Aku telahmengajukan empat pertanyaan tentang diriku, bagaiman aku harus bersuamiyang kepadanya aku menghabiskan waktuku dengannya?” Dalam penolakannyaitu pula, Rabi’ah lalu menyenandungkan sebuah sya’ir yang cukup indah.

Damaiku, wahai saudara-saudaraku,
Dalam kesendirianku,
Dan kekasihku bila selamanya bersamaku,
Karena cintanya itu,
Tak ada duanya,
Dan cintanya itu mengujiku,
Di antara keindahan yang fana ini,
Pada saat aku merenungi Keindahan-Nya,
Dia-lah “mirabku”, Dia-lah “kiblatku”,
Jika aku mati karena cintaku,
Sebelum aku mendapatkan kepuasaanku,
Amboi, alangkah hinanya hidupku di dunia ini,
Oh, pelipur jiwa yang terbakar gairah,
Juangku bila menyatu dengan-Mu telah melipur jiwaku,
Wahai Kebahagiaanku dan Hidupku selamanya,
Engkau-lah sumber hidupku,
Dan dari-Mu jua datang kebahagiaanku,
Telah kutanggalkan semua keindahan fana ini dariku,
Harapku dapat menyatu dengan-Mu,
Karena itulah hidup kutuju.

Begitulah, meskipun sebagai manusia, Rabi’ah tak pernah tergoda sedikitpun oleh berbagai keindahan dunia fana. Sampai wafatnya, ia hanya lebihmemilih Allah sebagai Kekasih sejatinya semata ketimbang harus bercintadengan sesama manusia. Meskipun demikian, disebutkan bahwa Rabi’ahmemiliki sejumlah sahabat pria, dan sangat sedikit sekali ia bersahabatdengan kaum perempuan. Di antara sahabat-sahabat Rabi’ah yang cukupdekat misalnya Dzun Nun al-Mishri, seorang sufi Mesir yangmemperkenalkan ajaran doktrin ma’rifat. Sufi ini meninggal pada tahun856 M dan sempat bersahabat dengan Rabi’ah selama kurang lebih setengahabad. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa pertemuan antara Dzun Nunal-Mishri dengan Rabi’ah ini terjadi sejak awal-awal usianya.

Di kalangan para sahabat sufi-nya itu, Rabi’ah banyak sekali berdiskusidan berbincang tentang Kebenaran, baik siang maupun malam. Salahseorang sahabat Rabi’ah, Hasan al-Bashri, misalnya menceritakan: “Akulewati malam dan siang hari bersama-sama dengan Rabi’ah, berdiskusitentang Jalan dan Kebenaran, dan tak pernah terlintas dalam benakkubahwa aku adalah seorang laki-laki dan begitu juga Rabi’ah, tak pernahada dalam pikirannya bahwa ia seorang perempuan, dan akhirnya akumenengok dalam diriku sendiri, baru kusadari bahwa diriku tak memilikiapa-apa, yaitu secara spiritual aku tidak berharga, Rabi’ah-lah yangsesungguhnya sejati.

Dalam kisah lain, diceritakan bahwa pada suatu hari Rabi’ah melewatilorong rumah Hasan al-Bashri. Hasan melihatnya melalui jendela danmenangis, hingga air matanya jatuh menetes mengenai jubah Rabi’ah. Iamenengadah ke atas, dan berpikir bahwa hari tidaklah hujan, dan ketikaia menyadari bahwa itu air mata sahabatnya, lalu dihampirinya sahabatyang sedang menangis tersebut seraya berkata, “Wahai guruku, air ituhanyalah air mata kesombongan diri saja dan bukan akibat dari melihatke dalam hatimu, di mana dalam hatimu air itu akan membentuk sungaiyang di dalamnya tidak akan engkau dapati lagi hatimu, kecuali ia telahbersama dengan Tuhan Yang Maha Kuasa.” Setelah mendengar kata-kataRabi’ah itu, Hasan tampak hanya bisa berdiam diri.

Di kalangan para sahabatnya, kehidupan Rabi’ah dirasakan banyak memberimanfaat. Hal ini dikarenakan Rabi’ah banyak sekali memperhatikankehidupan mereka. Perhatian Rabi’ah yang cukup besar kepada parasahabatnya itu, misalnya saja dibuktikan dengan kisah sebagai berikut:Suatu ketika, ada seorang laki-laki yang meminta agar Rabi’ah mendoakanuntuk dirinya. Tapi permohonan itu dibalas oleh Rabi’ah dengan rasarendah hati, “Wahai, siapakah diriku ini? Turutlah perintah Allah danberdoalah kepada-Nya, sebab Dia akan menjawab semua doa bila engkaumemohonnya.”

Ke-zuhud-an Rabi’ah al-Adawiyah

Sebagaimana diungkapkan terdahulu, Rabi’ah sejak kecil sudah memilikikarakter yang tidak begitu banyak memperhatikan kehidupan duniawi.Hidupnya sederhana dan sangat besar hati-hatinya terhadap makananapapun yang masuk ke dalam perutnya. Bahkan saking zuhudnya, Rabi’ahsering menolak setiap bantuan yang datang dari para sahabatnya, tetapisebaliknya Rabi’ah malah menyibukkan diri untuk melayani Tuhannya.Selepas dirinya dari perbudakan, Rabi’ah memilih hidup menyendiri disebuah gubuk sederhana di kota Basrah tempat kelahirannya. Iameninggalkan kehidupan duniawi dan hidup hanya untuk beribadah kepadaAllah.

Tampaknya, keinginan untuk hidup zuhud dari kehidupan duniawi inibenar-benar ia jalankan secara konsisten. Pernah misalnya Al-Jahiz,seorang sufi generasi tua, menceritakan bahwa beberapa dari sahabatnyamengatakan kepada Rabi’ah, “Andaikan kita mengatakan kepada salahseorang keluargamu, pasti mereka akan memberimu seorang budak, yangakan melayani kebutuhanmu di rumah ini.” Tetapi ia menjawab, “Sungguh,aku sangat malu meminta kebutuhan duniawi kepada Pemilik dunia ini,bagaimana aku harus meminta kepada yang bukan memiliki dunia ini?”Tiba-tiba terdengar suara mengatakan:

“Jika engkau menginginkan dunia ini, maka akan Aku berikan semua danAku berkahi, tetapi Aku akan menyingkir dari dalam kalbumu, sebab Akutak mungkin berada di dalam kalbu yang memiliki dunia ini. WahaiRabi’ah, Aku mempunyai Kehendak dan begitu juga denganmu. Aku tidakmungkin menggabungkan dua kehendak itu di dalam satu kalbu.”

Rabi’ah kemudian mengatakan, “Ketika mendengar peringatan itu,kutanggalkan hati ini dari dunia dan kuputuskan harapan duniawikuselama tiga puluh tahun. Aku salat seakan-akan ini terkahir kalinya,dan pada siang hari aku mengurung diri menjauhi makhluk lainnya, akutakut mereka akan menarikku dari diri-Nya, maka akau katakana, “YaTuhan, sibukkanlah hati ini dengan hanya menyebut-Mu, jangan Engkaubiarkan mereka menarikku dari-Mu.”

Sebagai seorang zahid, Rabi’ah senantiasa bermunajat kepada Allah agardihindarkan dari ketergantungannya kepada manusia. Namun, perjalananzuhud yang dialami Rabi’ah tampaknya tidak mudah begitu saja dilalui.Di depan, banyak tantangan dan cobaan yang harus ia hadapi.Kenyataan-kenyataan itu memang wajar, karena sebagai manusia, takmungkin dirinya hanya bergantung kepada Allah semata. Meskipundemikian, Rabi’ah tetap berusaha untuk menghindari apapun bantuan yangdatang selain dari Allah, sehingga sekalipun ia hidup dalam kemiskinan(faqr), namun kemiskinannya dianggap sebagai bagian dari kasih sayangAllah kepada Rabi’ah.

Dalam satu kisah misalnya disebutkan, sahabatnya Malik bin Dinar padasuatu waktu mendapati Rabi’ah sedang terbaring sakit di atas tikar tuadan lusuh, serta batu bata sebagai bantal di kepalanya. Melihatpemandangan seperti itu, Malik lalu berkata pada Rabi’ah, “Aku memilikiteman-teman yang kaya dan jika engkau membutuhkan bantuan aku akanmeminta kepada mereka.” Rabi’ah mengatakan, “Wahai Malik, engkau salahbesar. Bukankah Yang memberi mereka dan aku makan sama?” Malikmenjawab, “Ya, memang sama.” Rabi’ah mengatakan, “Apakah Allah akanlupa kepada hamba-Nya yang miskin dikarenakan kemiskinannya dan akankahDia ingat kepada hamba-Nya yang kaya dikarenakan kekayaannya?” Malikmenyahut, “Tidak.” Rabi’ah lalu kembali mengatakan, “Karena Diamengetahui keadaanku, mengapa aku harus mengingatkan-Nya? Apa yangdiinginkan-Nya, kita harus menerimanya.”

Sikap zuhud yang ditampilkan Rabi’ah sesungguhnya tiada lain agar iahanya lebih mencintai Allah ketimbang makhluk-makhluknya. Karena itu,hidup dalam kefakiran baginya bukanlah halangan untuk beribadah danlebih dekat dengan Tuhannya. Dan, toh, Rabi’ah menganggap bahwakefakiran adalah suatu takdir, yang karenanya ia harus terima denganpenuh keikhlasan. Kebahagiaan dan penderitaan, demikian menurutRabi’ah, adalah datang dari Allah. Dan dalam perjalanannya sufistiknyaitu, Rabi’ah sendiri telah melaksanakan pesan Rasulullah: “Zuhudlahengkau pada dunia, pasti Allah akan mencintaimu. Zuhudlah pada apa yangada pada manusia, pasti manusia akan mencintaimu.”

Cinta Ilahi Rabi’ah al-Adawiyah

Cinta Ilahi (al-Hubb al-Ilah) dalam pandangan kaum sufi memiliki nilaitertinggi. Bahkan kedudukan mahabbah dalam sebuah maqamat sufi takubahnya dengan maqam ma’rifat, atau antara mahabbah dan ma’rifatmerupakan kembar dua yang satu sama lain tidak bisa dipisahkan. AbuNashr as-Sarraj ath-Thusi mengatakan, cinta para sufi dan ma’rifat itutimbul dari pandangan dan pengetahuan mereka tentang cinta abadi dantanpa pamrih kepada Allah. Cinta itu timbul tanpa ada maksud dan tujuanapa pun.

Apa yang diajarkan Rabi’ah melalui mahabbah-nya, sebenarnya tak berbedajauh dengan yang diajarkan Hasan al-Bashri dengan konsep khauf (takut)dan raja’ (harapan). Hanya saja, jika Hasan al-Bahsri mengabdi kepadaAllah didasarkan atas ketakutan masuk neraka dan harapan untuk masuksurga, maka mahabbah Rabi’ah justru sebaliknya. Ia mengabdi kepadaAllah bukan lantaran takut neraka maupun mengharapkan balasan surga,namun ia mencinta Allah lebih karena Allah semata. Sikap cinta kepadadan karena Allah semata ini misalnya tergambar dalam sya’ir Rabi’ahsebagai berikut:

Ya Allah, jika aku menyembah-Mu,
karena takut pada neraka,
maka bakarlah aku di dalam neraka.
Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga,
campakkanlah aku dari dalam surga.
Tetapi jika aku menyembah-Mu, demi Engkau,
janganlah Engkau enggan memperlihatkan keindahan wajah-Mu,
yang Abadi kepadaku.

Cinta Rabi’ah kepada Allah sebegitu kuat membelenggu hatinya, sehinggahatinya pun tak mampu untuk berpaling kepada selain Allah. Pernah suatuketika Rabi’ah ditanya, “Apakah Rabi’ah tidak mencintai Rasul?” Iamenjawab, “Ya, aku sangat mencintainya, tetapi cintaku kepada Penciptamembuat aku berpaling dari mencintai makhluknya.”
Rabi’ah juga ditanya tentang eksistensi syetan dan apakah iamembencinya? Ia menjawab, “Tidak, cintaku kepada Tuhan tidakmeninggalkan ruang kosong sedikit pun dalam diriku untuk rasa membencisyetan.”

Allah adalah teman sekaligus Kekasih dirinya, sehingga ke mana sajaRabi’ah pergi, hanya Allah saja yang ada dalam hatinya. Ia mencintaiAllah dengan sesungguh hati dan keimanan. Karena itu, ia sering jadikanKekasihnya itu sebagai teman bercakap dalam hidup. Dalam salah satusya’ir berikut jelas tergambar bagaimana Cinta Rbi’ah kepada Teman danKekasihnya itu:

Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
Tubuh kasarku biar bercakap dengan yang duduk.
Jisimku biar bercengkerama dengan Tuhanku,
Isi hatiku hanya tetap Engkau sendiri.

Menurut kaum sufi, proses perjalanan ruhani Rabi’ah telah sampai kepadamaqam mahabbah dan ma’rifat. Namun begitu, sebelum sampai ke tahapanmaqam tersebut, Rabi’ah terlebih dahulu melampaui tahapan-tahapan lain,antara lain tobat, sabar dan syukur. Tahapan-tahapan ini ia lampauiseiring dengan perwujudan Cintanya kepada Tuhan. Tapi pada tahaptertentu, Cinta Rabi’ah kepada Tuhannya seakan masih belum terpuaskan,meski hijab penyaksian telah disibakkan. Oleh karena itu, Rabi’ah takhenti-hentinya memohon kepada Kekasihnya itu agar ia bisa terusmencintai-Nya dan Dia pun Cinta kepadanya. Hal ini sesuai dengan firmanAllah: “Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya” (QS. 5: 59).

Dalam kegamangannya itu, Rabi’ah tak putus-putusnya berdoa danbermunajat kepada Allah. Bahkan dalam doanya itu ia berharap agar tetapmencintai Allah hingga Allah memenuhi ruang hatinya. Doanya:

Tuhanku, malam telah berlalu dan
siang segera menampakkan diri.
Aku gelisah apakah amalanku Engkau terima,
hingga aku merasa bahagia,
Ataukah Engkau tolak hingga sehingga aku merasa bersedih,
Demi ke-Maha Kuasaan-Mu, inilah yang akan kulakukan.
Selama Engkau beri aku hayat,
sekiranya Engkau usir dari depan pintu-Mu,
aku tidak akan pergi karena cintaku pada-Mu,
telah memenuhi hatiku.

Cinta bagi Rabi’ah telah mempesonakan dirinya hingga ia telah melupakansegalanya selain Allah. Tapi bagi Rabi’ah, Cinta tentu saja bukantujuan, tetapi lebih dari itu Cinta adalah jalan keabadian untuk menujuTuhan sehingga Dia ridla kepada hamba yang mencintai-Nya. Dan denganjalan Cinta itu pula Rabi’ah berupaya agar Tuhan ridla kepadanya dankepada amalan-amalan baiknya. Harapan yang lebih jauh dari Cintanyakepada Tuhan tak lain agar Tuhan lebih dekat dengan dirinya, dankemudian Tuhan sanggup membukakan hijab kebaikan-Nya di dunia dan jugadi akhirat kelak. Ia mengatakan, dengan jalan Cinta itu dirinyaberharap Tuhan memperlihatkan wajah yang selalu dirindukannya. Dalamsya’irnya Rabi’ah mengatakan:

Aku mencintai-Mu dengan dua macam Cinta,
Cinta rindu dan Cinta karena Engkau layak dicinta,
Dengan Cinta rindu,
kusibukan diriku dengan mengingat-ingat-Mu selalu,
Dan bukan selain-Mu.
Sedangkan Cinta karena Engkau layak dicinta,
di sanalah Kau menyingkap hijab-Mu,
agar aku dapat memandangmu.
Namun, tak ada pujian dalam ini atau itu,
segala pujian hanya untuk-Mu dalam ini atau itu.

Abu Thalib al-Makki dalam mengomentari sya’ir di atas mengatakan, dalamCinta rindu itu, Rabi’ah telah melihat Allah dan mencintai-Nya denganmerenungi esensi kepastian, dan tidak melalui cerita orang lain. Iatelah mendapat kepastian (jaminan) berupa rahmat dan kebaikan Allahkepadanya. Cintanya telah menyatu melalui hubungan pribadi, dan iatelah berada dekat sekali dengan-Nya dan terbang meninggalkan dunia iniserta menyibukkan dirinya hanya dengan-Nya, menanggalkan duniawikecuali hanya kepada-Nya. Sebelumnya ia masih memiliki nafsukeduniawian, tetapi setelah menatap Allah, ia tanggalkan nafsu-nafsutersebut dan Dia menjadi keseluruhan di dalam hatinya dan Diasatu-satunya yang ia cintai. Allah telah memebaskan hatinya darikeinginan duniawi, kecuali hanya diri-Nya, dan dengan ini meskipun iamasih belum pantas memiliki Cinta itu dan masih belum sesuai untukdianggap menatap Allah pada akhirnya, hijab tersingkap sudah dan iaberada di tempat yang mulia. Cintanya kepada Allah tidak memerlukanbalasan dari-Nya, meskipun ia merasa harus mencintai-Nya.

Al-Makki melanjutkan, bagi Allah, sudah selayaknya Dia menampakkanrahmat-Nya di muka bumi ini karena doa-doa Rabi’ah (yaitu pada saat iamelintasi Jalan itu) dan rahmat Allah itu akan tampak juga di akhiratnanti (yaitu pada saat Tujuan akhir itu telah dicapainya dan ia akanmelihat wajah Allah tanpa ada hijab, berhadap-hadapan). Tak ada lagipujian yang layak bagi-Nya di sini atau di sana nanti, sebab Allahsendiri yang telah membawanya di antara dua tingkatan itu (dunia danakhirat) (Abu Thalib al-Makki, Qut al-Qulub, 1310 H, dalam MargaretSmith, 192cool.

Rabi’ah dan menjelang hari kematiannya

Dikisahkan, Rabi’ah telah menjalani masa hidup selama kurang lebih 90tahun. Dan selama itu, ia hanya mengabdi kepada Allah sebagai Penciptadirinya, hingga Malaikat Izrail menjemputnya. Tentu saja, Rabi’ah telahmenjalani pula masa-masa di mana Allah selalu berada dekat dengannya.Para ulama yang mengenal dekat dengan Rabi’ah mengatakan, kehadiranRabi’ah di dunia hingga kembalinya ke alam akhirat, tak pernahterbersit sedikit pun adanya keinginan lain kecuali hanya ta’zhim(mengagungkan) kepada Allah. Ia juga bahkan sedikit sekali memintakepada makhluk ciptaan-Nya.

Berbagai kisah menjelang kematian Rabi’ah menyebutkan, di antaranyapada masa menjelang kematian Rabi’ah, banyak sekali orang alim dudukmengelilinginya. Rabi’ah lalu meminta kepada mereka: ‘Bangkit dankeluarlah! Berikan jalan kepada pesuruh-pesuruh Allah Yang Maha Agung!’Maka semua orang pun bangkit dan keluar, dan pada saat mereka menutuppintu, mereka mendengar suara Rabi’ah mengucapkan kalimat syahadat,setelah itu terdengar sebuah suara: “Wahai jiwa yang tenang, kembalilahkepada Tuhanmu, berpuas-puaslah dengan-Nya. Maka masuklah bersamagolongan hamba-hamba-Ku dan masuklah ke dalam surga-Ku.” (QS. 89:27-30).

Setelah itu tidak terdengar lagi suara apa pun. Pada saat merekakembali masuk ke kamar Rabi’ah, tampak perempuan tua renta itu telahmeninggalkan alam fana. Para dokter yang berdiri di hadapannya lalumenyuruh agar jasad Rabi’ah segera dimandikan, dikafani, disalatkan,dan kemudian dibaringkan di tempat yang abadi.

Kematian Rabi’ah telah membuat semua orang yang mengenalnya hampir takpercaya, bahwa perempuan suci itu akan segera meninggalkan alam fanadan menjumpai Tuhan yang sangat dicintainya. Orang-orang kehilanganRabi’ah, karena dialah perempuan yang selama hidupnya penuhpenderitaan, namun tak pernah bergantung kepada manusia. Setiap orangsudah pasti akan mengenang Rabi’ah, sebagai sufi yang telah berjumpadengan Tuhannya.

Karenanya, setelah kematian Rabi’ah, seseorang lalu pernahmemimpikanya. Dia mengatakan kepada Rabi’ah, “Ceritakanlah bagaimanakeadaanmu di sana dan bagaimana engkau dapat lolos dari Munkar danNakir?” Rabi’ah menjawab, “Mereka datang menghampiriku dan bertanya,“Siapakah Tuhanmu?’ Aku katakana, “Kembalilah dan katakan kepadaTuhanmu, ribuan dan ribuan sudah ciptaan-Mu, Engkau tentunya tidak akanlupa pada perempuan tua lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu didunia, tidak pernah melupakan-Mu. Sekarang, mengapa Engkau harusbertanya, ‘Siapa Tuhanmu?’”


Meskipun hidup Rabiah seperti berlangsung linear dan konstan, seluruhenergi hidupnya dia abdikan untuk cinta, Rabiah memberi tahu kepadakita bahwa hidup memang tidak sederhana, seperti yang dijalaninya.Hidup itu begitu rumit, kadang kadang ada kemesraan dan kadang-kadangada kehidmatan bertahta.

Rabiah wafat dengan meninggalkan pengalaman sufistik yang takterhingga. Hikmah yang ditinggalkan sangat berharga dan patut kita galisebagai ‘makrifat’ hidup. Kini Rabi’ah telah tiada. Perempuan kekasihIlahi itu meninggal untuk selamanya, dan akan kembali hidup bersamaSang Kekasih di sisi-Nya. Jasad kasarnya hilang ditelan bumi, tetapiruh sucinya terbang bersama para sufi, para wali, dan para pecintaIlahi. Rabi'ah meninggal dunia pada 135 Hijrah yaitu ketika usianyamenjangkau 80 tahun. Moga-moga Allah meridai, amin…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar