Laman

Selasa, 28 September 2010

Kisah Imam Nawawi al-Bantani

Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin WassholatuWassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah ammaba’du… Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab KuningIndonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul ShamadAl-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, HamzahFansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan SyekhMuhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yangdiakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga dibeberapa universitas di luar negeri.
Dari beberapa tokoh tadi, namaSyekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulamakelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat,1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadirujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri.Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umaral-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkanayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidiklangsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghuluKecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal diBanten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulamabesar Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orangsaudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji.Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air.Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkahuntuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dannegeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas,Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh AhmadDimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh AbdulHamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulamaMekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ketanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanahair agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampirsemua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itutidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmudi negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya,kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannyamengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di MasjidilHaram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam MasjidilHaram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadiImam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selainmenjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah(diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahandunia. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungiMekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejakpukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengankebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dariIndonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. TubagusBakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dariJombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenaldi tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangatgiat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untukmengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkankitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karyaSyekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karyaYusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah menyebutkarya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagaidisiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir,dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secaraluas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadahal-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir,Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, SalalimAl-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam,Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut jugaditerbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini,menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenalsebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yangkhas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuanganumat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonialHindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya,tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itutak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentangkeras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih sukamemberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya sertaaktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT. Dalambidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya padadua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ danqiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri MazhabSyafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikutisalah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasukmujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali,dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementaraselain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhabtersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulamayang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa.Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulahyang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut bersyukurpernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh NawawiAl-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhanribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantaniwafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggirankota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M.

Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulamaIndonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, DesaTanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahunpergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hinggawafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkahmembuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz).Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia(setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah SyaikhonaKhalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitabkarangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliauhanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagibagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak ciptadan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian darikurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkanMalaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah.Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasaArab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawipertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ SyarhulMuhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliauadalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yangberhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliautentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan keBahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akansegera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagaimasalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islamyang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi),diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’uditTashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah TanqihulQoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lainyang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun yanglalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KHMasrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radioswasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh IbnuHajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab BidayatulHidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saatitu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetepmenulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bilakitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohonkepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis.Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, danbeliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api dijempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliauuntuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliauditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat,makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulangbelulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimanalazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebabjenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudahbertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allahkita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyakjuga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau diSerang, Banten.
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat IslamIndonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokohulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melaluikarya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yangsampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakanmasih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islamyang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikanrujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawufsampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkanmainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yangberada di bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenalsebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (thegreat scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasanteologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembagapendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualantokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjaditokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. HasyimAsyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan darisejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Disela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH.Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi,kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnyakecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasiNU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian parapemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengankeberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkahdan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalahdiakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhanaterhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olahhanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkahperjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektualkeagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama.Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikanbelakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yangsangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau ditubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dantipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuanIslam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf. Figurulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruhyang tipikal dari model pemikiran demikian.
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatutradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secaraevolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruhpola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokohulama di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akartradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sinidiuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yangkelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuanganpara muridnya di pesantren-pesantren.
Hidup Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibnUmar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutanMuhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara,Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun.Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istriNabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten,Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’atterakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingatijejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpinMasjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yangke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon),yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yangbemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan NabiMuhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, ImamAli Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkahmenunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmukalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmufiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnyatahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkapuntuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak keciltelah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati darimasyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnyamembludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok.Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi keMekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertamakali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu ThariqatQodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulamaasal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada SayidAhmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang diMadinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian iamelanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam(Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemahmelakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya punberasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh AhmadNahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkankampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkunganMasjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengankedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Padatahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab.Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yangmeminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itudatang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untukdibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalamsetiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya.Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar(Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggapsulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan oranglain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunyayang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulamabesar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca olehmereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnyamengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapatdipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru duniasampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luasdengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini namaNawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq waal-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz [pemimpin Ulamadaerah Hijaz, red.].
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisirwaktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia seringmendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelakditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa.Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasarterlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar prosespembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Bidang Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannyaberangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasibidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi,bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitabkecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknyakarya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang SyeikhNawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyakmengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuanNawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajahseluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagaipenganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yangbanyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijanal-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah,Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidangteologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari danImam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawibanyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harusmempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dariperbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Diamembagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin.Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahiltidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat padaAllah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang bolehada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yangmembahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawidinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagaisistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakanbersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antarakeduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untukmeyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaanAllah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tigasifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallafdiwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akalpikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah(Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawimenempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada ditengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah danJabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Diamengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai padakonsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusiaitu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia,manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteksIndonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan danmenyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasilmengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah diIndonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologiAsyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanankolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telahmelanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi punyang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turutterkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadartertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya darikekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahandiri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lainkecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatankolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasianteologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya diMekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawisering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (nonmuslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selaludicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukanperlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakansebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melaluikarya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullamat-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih alaFathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil memperkenalkan madzhabSyafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang mencurahkanhidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dariberbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelahditerbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi parapembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesirpernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forumdiskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama KH.Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebardi Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnyamencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama.Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawufortodok. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, iabanyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagairujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dariBelanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikanpandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan danSalalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagisetiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh KhatibSambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasitarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memilikipandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikatsangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawimengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya danhakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapalberlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dantarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi,sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan inimengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktektarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yangbertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannyaterhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yangdigunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparantasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufiIndonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristiktipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri,Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalammenyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkantasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasipandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dantasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalamkitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorangsosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuandikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat daripandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmulahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan tadarrus(belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapatdiperoleh melalui proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehinggamencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harusarif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawufberarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpapenguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan,sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpadibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanyatidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab).Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikapmoderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya olehSayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat diIndonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan“sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untukmencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yangdinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manistanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa disatu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akandunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalampersoalan politik. Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacanakeIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkandalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bilasebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidakditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits,sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebutmulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepasdari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: SyekhNawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidangtafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkanbidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, danKiai Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis.Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajaridi seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah AsiaTenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondoktradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkandi sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand.Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam,University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di FilipinaSelatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain ituSulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, UniversitasKebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Dikawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah menelitikurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yangtersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memangmendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitianpada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masihdipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contohpenelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11judul populer di antaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawitidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawitermasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selaindalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranyaadalah : KH. Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiriorganisasi Nahdlatul Ulama ), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, JawaTimur, KH. Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi,Nyi Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yangmenikahi cucu perempuan KH. Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bintNawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari Caringin Labuan, PandeglangBanten, KH. Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang ,Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, SerangBanten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanyadi sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara inimemperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Penelitian Zamakhsyari Dhofirmencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaiangeneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalisyang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakanpembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulamatradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjanatamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlahpesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasaenam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektualpesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh K.H. NawawiBanten., Syekh K.H. Mahfuz Termas, Syekh K.H. Abdul Karim, K.H. KholilBangkalan Madura, dan Syekh K.H. Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yangpertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir. Mereka berjasa dalammenyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebardi beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. HasyimAsya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangatbesar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi dipesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untukkembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H.Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran MarahLabid karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya ulamaSalaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorangreformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannyaAbduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia tidak mau mengajarkannyapada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Duatokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh K.H. KholilBangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecilperannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh AbdulKarim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengannama Kiai Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Agengmenjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudianciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga turutmempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikanreferensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikansebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith(tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Kiai parapemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangatbesar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalamtransmisi keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H HasyimAsyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karyaNawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi. Dalam bidangtasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacanapenafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahanapenyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain menjadi bentengpenyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning jugamerupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoksversus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqhversus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang tasawufcukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqhtersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikandua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi disatu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain. Sejakabad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektualdari generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun bergeser masuk dalamwilayah politik. Ketika kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletusyang berujung pada penaklukan Haramain oleh penguasa Ibn Saud yangberaliran Wahabi, para ulama pesantren membentuk sebuah komite yangdisebut dengan “komite Hijaz” yang terdiri dari 11 ulama pesantren.Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim, seorangkiai produk perguruan Haramain, komite ini bertugas melakukan negosiasidengan raja Saudi yang akan memberlakukan kebijakan penghancuranmakam-makam dan peninggalan-peninggalan bersejarah dan usaha ituberhasil. Dan, dalam perkembangannya komite ini kemudian berlanjutmengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayahpolitik praktis secara intens organisasi ini kemudian mengalamiperubahan nama dari Nahdlatul Wathan (NW) sampai jadi Nahdlatul Ulama(NU). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi merupakan sosokulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU.Sebab karakteristik pola pemikirannya merupakan representasikecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengahgelombang gerakan purifikasi dan pembaharuan. Kehadiran NU adalah untukmembentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yangmengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik. Karenanya formulasimanhaj al-Fikr tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi (diuraikankembali) oleh para ulama NU sebagai garis perjuangannya yang sejaktahun 1926 dituangkan dalam setiap konferensinya. Bahkan tidakberlebihan bila disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjutinstitusionalisasi dari arus pemikiran KH. Nawawi Banten.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar