Laman

Selasa, 28 September 2010

Ilmu Laduni

Ilmu ladunny diisyaratkan kepada ilmu yang diperoleh hamba tanpa menggunakan sarana, tapi berdasarkan ilham dari Allah, yang diperkenalkan Allah kepada hamba-Nya, seperti ilmu Khidhir yang diperoleh tanpa sarana seperti halnya Musa.* Allah befirman,
"Telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami." (Al-Kahfi: 65) *
Di satu sisi Khidhir adalah seorang hamba dan juga rasul, dan di sisi lain Musa juga seorang hamba dan rasul. Pada diri Musa tersisa sifat-sifat kekerasan, karena beliau dibesarkan di rumah Fir'aun. Suatu hari beliau menyampaikan pidato. Ada seseorang bertanya, "Siapakah orang yang paling berilmu?" Musa menjawab, "Aku." Karena beliau tidak menisbatkan ilmu itu kepada Allah, maka Allah menghardiknya, dan memerintahkan agar beliau pergi untuk belajar dari Nabi Khidhir, yang sebelumnya telah diberikan wahyu agar memberi pelajaran yang pas kepada Musa. Begitulah yang disebutkan di dalam Shahih Al-Bukhary.

Ada perbedaan antara rahmat dan ilmu. Keduanya dijadikan berasal dari samping Allah dan dari sisi Allah, karena memang keduanya tidak diperoleh begitu saja oleh hamba. Kata min ladunhu lebih khusus dan menunjukkan jarak yang lebih dekat daripada kata min indihi, yang keduanya sama-sama berarti dari sisi-Nya. Maka dari itu Allah befirman,
"Dan, katakanlah, 'Ya Rabbi, masukkanlah aku secara masuk yang benar dan keluarkanlah aku secara keluar yang benar, dan berikanlah kepadaku dari sisi Engkau kekuasaan yang menolong'." (Al-Isra': 80).
Min ladunhu berupa kekuasaan yang menolong, sedangkan min indihi berupa pertolongan yang diberikan kepada orang-orang Mukmin.
Ilmu ladunny merupakan buah ubudiyah, kepatuhan, kebersamaan dengan Allah, ikhlas karena-Nya dan berusaha mencari ilmu dari misykat Rasul-Nya serta ketundukan kepada beliau. Dengan begitu akan dibukakan kepadanya pemahaman Al-Kitab dan As-Sunnah, yang biasanya dikhususkan pada perkara tertentu.
Ali bin Abu Thalib pernah ditanya seseorang, "Apakah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan kekhususan tertentu tentang suatu perkara kepada kalian, yang tidak diberikan kepada selain kalian?" Maka dia menjawab, "Tidak. Demi yang membelah biji-bijian dan menghembuskan angin, selain dari pemahaman tentang Al-Qur'an yang diberikan Allah kepada hamba-Nya."
Inilah yang disebut ilmu ladunny yang hakiki, yaitu ilmu yang datang dari sisi Allah, ilmu tentang pemahaman Kitab-Nya. Sedangkan ilmu yang menyimpang dari Al-Qur'an dan As-Sunnah, tidak diikat dengan keduanya, maka itu datang dari hawa nafsu dan syetan. Memang bisa saja disebut ilmu ladunny. Tapi dari sisi siapa? Suatu ilmu bisa diketahui sebagai ilmu ladunny, jika ia sesuai dengan apa yang dibawa Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yang berasal dari Allah. Jadi ilmu ladunny ada dua macam: Dari sisi Allah, dan dari sisi syetan. Materinya disebut wahyu. Sementara tidak ada wahyu setelah Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Ilmu ladunni diambil dari kalimat 'minladunna ilman', ... ilmu yang berasal dari sisi Kami (Allah) tercantum dalam surat Al Kahfi : 65
" lalu mereka bertemu dengan seorang hamba diantara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami"
yaitu ilmu yang langsung berasal dari Allah berupa ilham atau wahyu.Menurut para mufassir hamba Allah di sini adalah nabi Khaidhir, dan yang dimaksud dengan rahmat ialah wahyu dan kenabian. Sedang yang dimaksud ilmu ialah ilmu tentang yang ghaib seperti yang tercantum dalam kisah perjalanan antara nabi Musa dan nabi Khidhir.

Kisah simbolik anatara Nabi Musa dengan nabi Khidir ini mengisyaratkan adanya tingkatan-tingkatan kecerdasan. Kecerdasan yang dimiliki Khidlir dapat dikategorikan kecerdasan spiritual. Sementara model kecerdasan yang ditampilkan Nabi Musa adalah kecerdasan intelektual. Kisah ini juga mengisyarakan bahwa kecerdasan spiritual tidak hanya dapat diakses oleh para Nabi tetapi manusia yang buka Nabi pun berpotensi untuk memperolehnya.

Kecerdasan spiritual menurut Al-Gazali dapat diperoleh melalui wahyu dan atau ilham. Wahyu merupakan “kata-kata” yang menggambarkan hal-hal yang tidak dapat dilihat secara umum, yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya dengan maksud supaya disampaikan kepada orang lain sebagai petunjuk_nya. Sedangkan ilham hanya merupakan “pengungkapan” (mukasyafah) kepada manusia pribadi yang disampaikan melalui batinnya. Al-Gazali tidak membatasi ilham itu hanya pada wali tetapi diperuntukkan kepada siapapun juga yang diperkenankan oleh Allah.

Al-Gazali sesungguhnya sudah lama telah memperkenalkan model kecerdasan spiritual ini dengan beberapa sebutan, seperti dapat dilihat dalam konsep mukasyafah dan konsep ma’rifah-nya. Menurut Al-Gazali, kecerdasan spiritual (ladunni) dalam bentuk mukasyafah (ungkapan langsung) dapat diperoleh setelah roh terbebas dari berbagai hambatan. Roh tidak lagi terselubung oleh khayalan pikiran dan akal pikiran tidak lagi menutup penglihatan terhadap kenyataan Yang dimaksud hambatan di sini ialah kecenderungan-kecenderungan duniawi dan berbagai penyakit jiwa. Mukasyafah ini juga merupakan sasaran terakhir dari para pencari kebenaran dan mereka yang berkeinginan meletakkan keyakinannya dalam di atas kepastian. Kepastian yang mutlak tentang sebuah kebenaran hanya mungkin ada pada tingkat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar