Laman

Minggu, 26 September 2010

Ikhlas Dalam Niat

Diterimanya segala amal, baik perkataan maupun perbuatan, yang tampak maupun tersembunyi, semuanya tergantung pada niat pelakunya yang ikhlas hanya karena Allah Subhanahu Wa Ta'ala semata tanpa tercampuri oleh kotoran-kotoran hati seperti riya’, sum’ah, bangga atau cinta popularitas. Semua kotoran hati tersebut dapat menghapus pahala amalan itu sendiri dan menghalanginya dari diterima di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Semua itu menuntut seorang muslim untuk memiliki sifat ikhlas dalam setiap amalannya dan merasakan adanya pengawasan dari Allah Subhanahu Wa Ta'ala  di setiap waktu dan tempat. Karena segala macam pengotor niat dari keikhlasan tidak akan menghasilkan apapun dan tidak akan mengundang manfaat sedikit pun. Karena segala urusan makhluk berada dalam genggaman Allah Subhanahu Wa Ta'ala  Yang Maha Kuat dan Menguasai, bukan di tangan seorang pun dari para hamba-Nya yang lemah dan tak mampun menghasilkan apapun tanpa izin, kehendak serta taufik dari-Nya.
Allah Subhanahu Wa Ta'ala  berfirman tentang orang-orang yang ikhlas dalam amalnya:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang lurus. (Q.S. Al-Bayyinah: 5)
Dia juga berfirman tentang keharusan membersihkan niat dalam menyembelih binatang dan hewan kurban:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik. (Q.S. Al-Hajj: 37)
Dia juga berfirman tentang pengetahuan-Nya yang meliputi segala sesuatu yang tersembunyi dalam dada maupun yang tampak dari luar:
Katakanlah: "Jika kamu menyembunyikan apa yang ada dalam hatimu atau kamu melahirkannya, pasti Allah mengetahui." Allah mengetahui apa-apa yang ada di langit dan apa-apa yang ada di bumi. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S Ali Imran: 29)
Semua ayat di atas menunjukkan bahwa ikhlas dalam niat menjadi syarat diterimanya sebuah amalan, karena Allah tidak menerima suatu amalan kecuali jika didasari dengan niat yang tulus ikhlas untuk mencari keridaan-Nya semata. Para ulama bersepakat bahwa niat menjadi syarat dalam melaksanakan amalan-amalan agama agar dapat menghasilkan pahala. Mereka juga bersepakat bahwa tempat niat berada di dalam hati. Niat sendiri secara bahasa berarti tujuan (al-qashd) dan tidak disyaratkan mengucapkannya. Adapun mengenai sah dan tidaknya suatu amalan yang dilakukan tanpa niat, para ulama memiliki penjelasan rinci serta terdapat perbedaan mengenai hal itu. Sebagian di antara mereka, seperti Syafiiyah, memandang bahwa niat menjadi syarat bagi amalan-amalan perantara (al-wasail) seperti wudhu dan amalan-amalan inti (al-maqashid) seperti shalat. Sedangkan sebagian ulama lain, seperti Hanafiyah, memandang bahwa niat menjadi syarat hanya dalam amalan-amalan inti saja, bukan amalan-amalan perantara sehingga sahnya amalan-amalan tersebut tidak tergantung pada niat. Hanya saja amalan-amalan perantara tersebut menjadi kurang sempurna.
Kendatipun demikian, syariat yang mulia ini (Islam) selalu menganjurkan para pemeluknya agar menjaga niat untuk melakukan kebaikan secara mutlak, baik dalam perbuatan, perkataan maupun keadaan. Dan Allah Subhanahu Wa Ta'ala memberikan pahala atas niat tersebut dan menjadikannya sebagai neraca keistimewaan bagi amalan-amalan dan nilai-nilai ukhrowi.
Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Umar bin Khattab r.a. dia berkata: Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan diganjar sesuai dengan niatnya. Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka pahala hijrah tersebut diserahkan kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya untuk mencari dunia atau menikahi wanita, maka hijrahnya akan diserahkan kepada apa yang menjadi tujuannya.”
Imam Nawawi berkomentar terhadap hadits tersebut, “Yang dimaksud adalah amalan-amalan ketaatan, bukan amalan-amalan yang bersifat mubah.” Imam Al-Harits Al-Muhasibi berkata, “Ikhlas tidak masuk ke dalam perkara-perkara mubah, karena yang mubah tidak mencakup ketaatan dan tidak akan mengantarkan kepada ketaatan, seperti meninggikan bangunan tanpa tujuan apapun atau bahkan dengan tujuan bermewah-mewahan. Adapun jika lakukan untuk tujuan tertentu seperti masjid, jembatan, benteng pertahanan dan lain-lain, maka hal itu menjadi terpuji.”
Imam Nawawi melanjutkan perkataannya, "Dan tak ada ikhlas dalam perkara-perkara yang diharamkan atau dimakruhkan, misalnya melihat hal-hal yang tidak boleh dilihat dengan alasan bertafakkur terhadap ciptaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, seperti melihat anak kecil yang tampan (amrad). Maka dalam hal ini tidak dikenal istilah ikhlas, bahkan tak dianggap sebagai amalan ibadah sedikit pun. Karena ikhlas adalah substansi ibadah itu sendiri.
Razin telah meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, "Barangsiapa mengikhlaskan niat hanya karena Allah semata selama empatpuluh hari, maka akan terpancar sumber-sumber mata air hikmah dalam hati dan lisannya."
Adapun amalan-amalan yang termasuk dalam kategori turuk, yaitu meninggalkan sesuatu, seperti membersihkan benda najis, mengembalikan barang yang dipakai tanpa izin (ghashb) atau yang dipinjam (isti'arah), menyampaikan hadiah dan lain sebagainya, maka sahnya amalan-amalan tersebut tidak tergantung kepada niat. Akan tetapi, untuk mendapatkan pahala atas amalan itu yang membutuhkan niat agar dicatat sebagai amalan shalih. Contohnya, memberi makan hewan ternak, jika diniatkan untuk melaksanakan perintah Allah Subhanahu Wa Ta'ala, maka akan mendatangkan pahala. Namun jika diniatkan untuk sekedar menjaga harta benda, maka tak ada pahala di dalamnya. Hal ini sebagaimana dipaparkan oleh Imam Qarafi.
Dari penjelasan di atas, tampak bahwa Allah Subhanahu Wa Ta'ala menekankan pentingnya membersihkan niat hanya untuk Allah Subhanahu Wa Ta'ala saja. Dan niat yang ikhlas merupakan syarat diterimanya amalan di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Jika tidak terpenuhi niat yang baik dalam amalan dan tidak ditujukan untuk mencari kerelaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala, maka takkan terwujud tujuan daripada amalan itu sendiri, yaitu diterima di sisi Allah Subhanahu Wa Ta'ala.
Hadits yang berbunyi, "Sesungguhnya amalan-amalan itu tergantung pada niatnya," menunjukkan bahwa sahnya amalan, atau benarnya amalan, atau diterimanya amalan, atau sempurnanya amalan, semua itu tergantung pada niatnya. Sedangkan yang dimaksud oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam sabdanya, "Sesungguhnya setiap orang akan diganjar sesuai niatnya," adalah bahwa spesifikasi (ta'yin) amalan adalah dengan menggunakan niat, sebagaimana disampaikan oleh Imam Khattabi. Imam Nawawi mengatakan, "Faedah dari semua ini adalah bahwa spesifikasi amalan yang diniatkan merupakan syarat, misalnya seseorang yang berniat menqadha shalat, maka ia harus menentukan apakah shalat itu Zhuhur, Ashar atau yang lainnya."

(Prof. Dr. Wahbah Zuhaili, Silsilah Akhlaqul Muslim I)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar